Pengertian Sudut Pandang

Hallo, Selamat Datang di Pendidikanmu.com, sebuah web tentang seputar pendidikan secara lengkap dan akurat. Saat ini admin pendidikanmu mau berbincang-bincang berhubungan dengan materi Sudut Pandang? Admin pendidikanmu akan berbincang-bincang secara detail materi ini, antara lain:  pengertian beserta contohnya lengkap.

Sudut-Pandang

Apa yang kamu lihat dan rasakan saat menonton sepak bola? Sebagai penonton, perasaan kamu jelas bertolak belakang dengan apa yang disaksikan dan dirasa oleh si pemain yang timnya menang atau justeru si pemain yang timnya kalah. Akibat dari kejadian itupun bakal berbeda untuk anda, si pemain yang menang, dan si pemain yang kalah.

Oleh sebab tersebut sudut pandang ialah krusial dalam memprovokasi penyajian kisah dan alurnya. Sudut pandang (point of view) sendiri mempunyai pengertian sebagai teknik penulis menanam dirinya di dalam cerita. Secara mudah, sudut pandang ialah teknik yang dipilih pengarang untuk mengucapkan ceritanya.


Pengertian Sudut Pandang

Sudut Pandang (point of view) merupakan elemen yang tidak dapat ditinggalkan dalam membangun kisah pendek. Sudut pandang merupakan cara pengarang menanam dirinya terhadap cerita, dari sudut mana pengarang memandang ceritanya. Sudut pandangan figur ini adalah visi penulis yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pandangan ini paling erat dengan kiat bercerita.

Sudut Pandang ialah salah satu unsur rekaan yang menjadi kunci kesuksesan cerita. Sebelum kita mencatat cerita, mesti menyimpulkan untuk memilih dan memakai sudut pandang tertentu di dalam kisah yang akan anda buat. Kita mesti sudah dapat mengambil sikap naratif, antara mengemukakan kisah dengan diceritakan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang diluar kisah itu sendiri.


Jenis Sudut Pandang Dalam Cerita

Sudut pandang umumnya dipecah kedalam empat jenis diantaranya inilah ini ini:


1. Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal

Penulis sebagai pelaku sekaligus narator yang memakai kata ganti “aku’.


  •  “Aku” sebagai figur utama

Penulis ialah “aku ”sebagai figur utama kisah dan menceritakan dirinya sendiri, tindakan, dan kejadian disekitarnya. Pembaca bakal menerima kisah sesuai dengan yang dilihat, didengar, dialami, dan dialami “aku” sebagai narator sekaligus pusat cerita.

Contoh :

Seorang pria tua memanggilku sepuluh menit kemudian di ruang pribadinya di lantai sangat atas pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia duduk pongah di kursi busa berukir khas jepara dibalik meja. Senyumnya mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai dihadapnya, seraya melirik kitab yang tadi dibantingnya. Gagasan, tersebut tulisan di sudut kanan atas sampul depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja disebelah kitab itu, artikel cerlang bereja Rektor pongah menatapku. Kulengoskan kepala terbit jendela, sedangkan mulutnya terus mengumpat. Soal kitab itu, tentu pun soal aku. (Rektor Itu Ayahmu, Sayang? – Ardyan Amroellah)

Catatan:

Tokoh “aku” tak barangkali mengungkapkan perasaan atau benak tokoh beda kecuali dengan perkiraan.

Penulis mesti mengetahui tokoh “aku” cocok karakternya. Misalnya soal bahasa, perlu disaksikan apakah “aku” ialah orang tua atau anak muda. Itu akan memprovokasi gaya bahasa yang diucapkan.

Mengenali dengan baik karakter “aku” ialah keharusan..


  •  “Aku” sebagai figur bukan utama.

Penulis ialah “aku ” dalam kisah tapi bukan figur utama. Keberadaan “aku” melulu sebagai saksi/kawan figur utama. “Aku” ialah narator yang menceritakan cerita yang dirasakan tokoh beda yang menjadi figur utama.

Contoh:

Aku sudah memahami wajahnya semenjak lama, semenjak sekitar dua tahun lalu. Seminggu sekali dia datang ke salon itu, selalu. Aku sering tertawa ketika ingat kali kesatu aku melihatnya. Lusuh, kusam, dekil, sama sekali tak berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam kotoran dan ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali. Dan rupanya dia tahu bagaimana teknik memelihara diri. Terbukti, tak terdapat tanda kekusaman yang muncul. Aih, aku jadi iri. (Mimpimu Apa? – Ardyan Amroellah)

Catatan:

Teknik ini nyaris serupa dengan Sudut Pandang Orang Ketiga. Hanya saja narator ikut tercebur sebagai tokoh.

“Aku” melulu mengomentari apa yang disaksikan dan didengar saja. “Aku” dapat mengungkap apa yang dialami atau dipikirkan figur utama, tapi melulu berupa sangkaan dan bisa jadi berdasar apa yang “aku” amati dari figur utama.


2. Sudut Pandang Orang Pertama Jamak

Ini serupa dengan Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal, melulu saja memakai kata ganti “kami”. Narator menjadi seseorang dalam kisah yang bicara mewakili sejumlah orang atau sekelompok orang.
Contoh:
Siang tersebut kami berkerumun di teras masjid, membicarakan isu hangat yang merebak di pondok. Secara beruntun, dagangan kami hilang. Mi instan, uang, buku, sampai celana dalam. Hal terakhir tersebut sangat keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami habis. Percayalah, melulu sarung yang kami pakai ketika ini. (Ronaldo Dari Brazil – Anin Mashud)


3. Sudut Pandang Orang Kedua

Penulis ialah narator yang sedang berkata kepada kata ganti “kamu” dan mencerminkan apa yang dilaksanakan “kamu” atau “kau” atau “anda”.

Contoh:

Ini hari kesatumu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi semenjak tiga sejam lalu, kau sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, hingga riasan di wajahmu. Lalu sesudah kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final yang kau rasa bakal memesona teman-teman barumu di kantor nanti, kau memungut parfum. Menyemprotkannya di belakang telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik berikutnya, kau melalui udara beraroma lili dan lavender itu, bercita-cita supaya wanginya menempel di rambut dan blazer barumu. (Novel The Girls’ Guide to Hunting and Fishing – Melissa Bank)
Catatan;

Pembaca diperlakukan sebagai pelaku utama sampai-sampai membuatnya menjadi merasa dekat dengan kisah karena seolah menjadi figur utama

Penulis mesti konsisten tak menyinggung “aku” untuk berkata dengan figur utama.


4. Sudut Pandang Orang Ketiga Tunggal.

Penulis terdapat di luar kisah tak tercebur dalam cerita. Penulis pun menampilkan semua tokoh dengan menyinggung namanya atau kata ganti “dia”.


  • Sudut Pandang Orang Ketiga Mahatahu.

Penulis laksana Tuhan dalam karyanya, yang memahami segala urusan tentang seluruh tokoh, peristiwa, tindakan, tergolong motif. Penulis pun bebas beralih dari satu figur ke figur lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang terdapat dipikiran serta perasaan semua tokohnya.

Contoh:

“Ibrahim?!”
“Ya, Ibrahim. Seperti itulah tugasnya sesudah dipanggil pulang…”
Jawaban tersebut tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan ketika si guide bertudung memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip, secepat tersebut Ranju menjumpai pantai di matanya. Dan tersebut membuat Ranju mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya masih sarat logika. Meski Ranju ingat, dia tadi berlangsung diatas air, dia tadi mencium susu di parit kecil pinggir jalan, dia tadi menatap wanita–wanita elok yang menyapa genit. Ranju bermain–main di benak sampai–sampai si guide bertudun menyentak lengannya. Ranju terpaku diluar pagar sebuah lokasi tinggal kecil serupa lokasi tinggal keluarga Amerika ruang belajar menengah. (Lelaki Di Tengah Lapangan – Ardyan Amroellah)


  • Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas.

Penulis melukiskan segala apa yang dirasakan tokoh melulu terbatas pada satu orang atau dalam jumlah yang paling terbatas. Penulis tak leluasa beralih dari satu figur ke figur lainnya. Melainkan terikat melulu pada satu atau dua figur saja.

Contoh:

Selalu terdapat cita di dalam benaknya, guna mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga mengarah ke penginapan. Dia akan merasakan bagaimana lampu-lampu jalan berpendar laksana kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berjajar tak putus acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar juga terasa bergelombang laksana sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga – Kurnia Effendi)


  • Sudut Pandang Orang Ketiga Objektif

Narator melukiskan seluruh tindakan figur dalam kisah namun tak mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dialami oleh figur cerita. Penulis melulu boleh mengasumsikan apa yang dipikirkan, atau dialami oleh figur ceritanya.

Contoh:

Si pria tua bangkit dari kursinya, perlahan menerbitkan pundi kulit dari kantung, menunaikan minuman dan meninggalkan persenan separuh peseta. Si pelayan mengikutinya dengan mata saat si pria tua keluar. Seorang pria yang paling tua yang berlangsung terhuyung namun tetap dengan sarat harga diri.
“Kenapa tak kau biarkan saja dia minum hingga puas?” tanya si pelayan lain. Mereka berdua menurunkan seluruh tirai. “Belum jam separuh dua.” lanjutnya.
“Aku hendak cepat kembali dan tidur.” (Tempat yang Bersih Terang – Ernst Hemingway)


5. Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak

Penulis menuturkan kisah menurut persepsi atau kacamata kolektif. Penulis bakal menyebut semua tokohnya dengan memakai kata ganti orang ketiga jamak; “mereka”.

Contoh:

Pada sebuah hari, saat mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan sejumlah anak pria dari kumpulan pemuda. Dalam perjalanan pulang, mereka menyaksikan ibu mereka di suatu kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melewati sebuah jendela dan seorang lelaki duduk bersamanya. Ibu mereka menempatkan syal tartarnya di atas meja. (Ibu – Natalia Ginzburg).


6. Sudut Pandang Campuran

Penulis menanam dirinya bergantian dari satu figur ke figur lainnya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. “aku”, “kamu”, “kami”, “mereka”, dan atau “dia”.

Catatan:

Biasanya kiat ini digunakan dalam kisah yang memerlukan halaman banyak. Perlu kecermatan dalam masing-masing fragmen ketika penulis mengolah sudut pandang.


SUDUT PANDANG ORANG KEDUA: PENJELASAN KHUSUS

Dibandingkan unsur–unsur pembentuk kisah lainnya, penulis–penulis Indonesia ingin lambat dalam mengeksperimen dan membarui pemakaian sudut pandang dalam penerapannya pada karya. Selama ini secara umum kita melulu mengenal dua macam sudut pandang, yakni Sudut Pandang Orang Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sama sekali tak terdapat teori dan pemakaian Sudut Pandang Orang Kedua. Mengapa laksana itu? Jawaban semua pengarang rata–rata sama. Sulit.

Sebagai cerminan singkat. Misalnya seseorang yang mempunyai nama Andi, bercerita untuk temannya, Budi. Ada dua kemungkinan: Andi mengisahkan dirinya dengan berkata, “Pagi ini aku berangkat pagi.” Dalam urusan ini, Andi memakai sudut pandang orang kesatu (aku). Kemungkinan kedua, Andi mengisahkan orang lain. Misalnya dengan, “Tadi siang dia santap siang.” Di sini, Andi memakai sudut pandang orang ketiga (dia).


MUNGKINKAH ANDI BERCERITA KEPADA BUDI TENTANG BUDI?

Dalam suasana normal, kejadian semacam ini tak dapat terjadi karena apa yang dirasakan Budi pastinya Budi sendiri yang lebih tahu. Hal tersebut seperti menginginkan dalang bercerita soal Arjuna untuk Arjuna yang menontonnya. Jelas Arjuna lebih tahu cerita dirinya sendiri dibanding dalang. Itu andai normal. Jika tak normal apakah bisa? Dan bagaimana praktiknya andai bisa?

Kembali ke pengandaian diatas. Jawabannya ialah bisa saja saat Arjuna kehilangan informasi mengenai dirinya atau kejadian yang dialaminya, sebab mungkin dia pingsan atau tidur, kemudian Arjuna minta penjelasan dalang sampai-sampai dalang bakal menginformasikan, “Waktu istirahat tadi kau berjalan terbit kamar, namun matamu meram.” Kondisi terakhir ini dapat mencetuskan sudut pandang orang kedua (kau, kamu) asalkan dalang konsisten tak menyinggung dirinya sebagai “aku”.

Dalam format cerita, pembaca melulu akan menyaksikan Arjuna yang disapa dengan kata ganti ”kau”, sementara dalang tak tampak dan dirasakan oleh pembaca sebagai pengarang cerita. Jika dalang tergoda guna memasukkan dirinya ke dalam peristiwa, contohnya dengan menambahkan, “Lalu aku menepuk pundakmu,” maka sudut pandang pulang menjadi orang kesatu. Tetapi sudut pandang bakal tetap orang kedua andai dalang mengisahkan dirinya tidak dengan kata ganti orang kesatu, contohnya dengan mengatakan, “Lalu seseorang menepuk pundakmu.”

Dari definisi ringkas di atas, bisa dimengerti andai sudut pandang orang kedua jarang sekali dipraktikkan oleh semua penulis. Tapi bukan berarti tak ada. Coba baca Dadaisme karya Dewi Sartika, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Kabar Buruk dari Langit produksi Muhiddin M. Dahlan. Meski sudut pandang orang kedua pada ketiga novel ini tidak utuh atau tidak sepenuhnya digunakan dalam borongan novel.

Sudut pandang yang dipakai dalam sastra seringkali hanya sudut pandang orang kesatu dan orang ketiga. Bagi sudut pandang orang kesatu dipecah dua yakni sudut pandang orang kesatu sebagai pelaku utama dan orang kesatu sebagai pelaku sampingan. Sedangkan sudut pandang orang ketiga dipecah dua yakni orang ketiga sebagai mahatahu/serbatahu dan orang ketiga sebagai pengamat. Jadi sudut pandang orang ketiga pelaku utama dan orang ketiga pelaku sampingan tidak ada.

kalau perbedaan yang mudah dikenang antara sudut pandang orang ketiga serba tahu & pengamat, bagaimana ya ?

kalau orang ketiga serbatahu berarti dapat tahu segalanya bahkan sampai benak tokohpun tahu, tetapi bila orang ketiga sebagai pengamat maka melulu melukiskan apa yang disaksikan atau sekedar indranya.

Mohon maaf sebelumnya, tp knp dalam soal2 bahasa indonesia msh terdapat sudut pandang orang ketiga sebagai figur atau pelaku utama? Mohon penjelasannya… terima kasih..

didalam soal pemakaian sudut pandang tersebut dipakai sebagai pengecoh saja.

Kak,ap yag d’maksud sudut pandang orang kesatu sebagai pengamat beserta cntoh’x

sudut pandang orang I sebagai pengamat tidak ada. Sudut pandang orang kesatu hanya dipecah menjadi orang I sebagai pelaku utama dan orang I sebagai pelaku sampingan. sudut pandang orang ketiga dipecah menjadi orang III sebagai pengamat dan orang III maha tahu.


Demikian Pembahasan Tentang 6 Jenis Sudut Pandang: Pengertian Beserta Contohnya Lengkap dari Pendidikanmu
Semoga Bermanfaat Bagi Para Pembaca :)

Berita Artikel Lainnya: