Hallo, Selamat Datang di Pendidikanmu.com, sebuah web tentang seputar pendidikan secara lengkap dan akurat. Saat ini admin pendidikanmu mau berbincang-bincang berhubungan dengan materi Kerajaan Sriwijaya? Admin pendidikanmu akan berbincang-bincang secara detail materi ini, antara lain: sumber sejarah, letak, raja, masa kejayaan, runtuhnya dan peninggalan.
Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Sumber dari dalam negeri berupa Prasasti yang berjumlah 6 buah yang menggunakan bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa, serta telah menggunakan angka tahun Saka, antara lain:
- Prasasti Kedukan Bukit di temukan di Kedukan Bukit, di tepi sungai Talang dekat Palembang berangka tahun 605 Syaka atau 683 M. Isi dari Prasasti ini menceritakan tentang perjalanan suci/sidayata yang dilakukan Dapunta Hyang, berangkat dari Muaratamwan dengan membawa tentara sebanyak 20.000 orang, dan dari perjalanannya itu berhasil menaklukkan beberapa daerah.
- Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat kota Palembang berangka tahun 606 Syaka/684M. Prasasti ini berisi tentang pembuatan Taman Sriksetra untuk kemakmuran semua makhluk dan terdapat doa-doa yang bersifat Budha Mahayana.
- Prasasti Telaga Batu di temukan di Telaga Batu dekat Palembang berangka tahun 683 M.
- Prasasti Kota Kapur ditemukan di Kota Kapur (di Pulau Bangka) berangka tahun 608 Syaka/686M.
- Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi, tidak memiliki berangka tahun.
- Prasasti Palas Pasemah ditemukan di Lampung Selatan, tidak memiliki berangka tahun.
Sumber-Sumber Dari Luar Negeri
Anatara lain:
- Prasasti Ligor ditemukan di Semenanjung Melayu berangka tahun 775M yang menjelaskan tentang pendirian sebuah pangkalan di Semenanjung Melayu, daerah Ligor.
- Prasasti Nalanda ditemukan di India di kota Nalanda yang berasal dari abad ke 9 M. Prasasti tersebut menjelaskan pendirian Wihara oleh Balaputradewa raja Sriwijaya.
Sumber Berita Asing
Anatara lain:
Berita Cina
- Catatan perjalanan I-Tsing seorang pendeta Cina yang sering datang ke Sriwijaya sejak tahun 672 M, yang menceritakan bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang menguasai agama seperti di India.
- Berita dari dinasti Sung yang menceritakan tentang pengiriman utusan dari Sriwijaya tahun 971-992 M.
Berita Arab
- Sriwijaya disebut dengan Zabag/Zabay atau dengan sebutan Sribuza. Dari berita-berita Arab dijelaskan tentang kekuasaan dan kebesaran serta kekayaan Sriwijaya.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7 dibuktikan dengan adanya prasasti kedukan Bukit di Palembang (682). Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan yang kuat di Pulau Sumatera. Nama Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta berupa “Sri” yang artinya bercahaya dan “Wijaya” berarti kemenangan sehingga dapat diartikan dengan kemenangan yang bercahaya atau gemilang.
Pada catatan perjalanan I-Tsing, pendeta Tiongkok yang pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 selama 6 bulan menerangkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (Provinsi Riau sekarang). Kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai raja pertama.
Fakta Inspiratif ~ Dari berita-berita Cina, kita mengetahui bahwa sekitar tahun 600 sesudah Masehi di Sumatera berdiri tiga buah kerajaan, yakni Che-li-fo-che (Sriwijaya). Mo-lo-yeu (Melayu) dan To-lang-po-hwang (Tulang bawang).
Diantara tiga kerajaan itu yang banyak termuat dalam berita Cina adalah Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Sumatera juga hanya mengisahkan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulangbawang mungkin taklukan Sriwijaya.
Sriwijaya adalah kerajaan Maritim dan perdagangan, sebagai Negara maritim. Kerajaan Sriwijaya memiliki armada laut yang sangat kuat. Keterangan mengenai kekuatan armada Sriwijaya dapat dilihat pada prasasti Kedukun Bukit yang ditemukan di dekat Palembang. Prasasti ini berdiri pada tahun 683 Masehi, menceritakan perjalanan Dapunta Hyang dari Minangatamwan dengan perahu dari 20.000 orang prajurit. Tujuan perjalanan ini menaklukkan beberapa daerah armada. Dapunta Hyang berhasil menaklukkan banyak daerah dan dengan semakin luasnya daerah Sriwijaya, karajaan itu semakin makmur.
Setelah berhasil menaklukkan daerah sekitarnya, rupanya Sriwijaya bermaksud untuk meluaskan wilayahnya sampai ke Jawa. Prasasti Kota Kapur (686 Masehi) yang ditemukan di Pulau Bangka menyebutkan, setelah Sriwijaya menaklukkan Bangka, armadanya berusaha untuk menaklukkan Bhumi Jawa. Bhumi Jawa diduga Kerajaan Tarumanagara.
Selain prasasti Kedukan Bukit dan prasasti Kota Kapur, ditemukan tiga prasasti Sriwijaya lainnya, yaitu prasasti Telaga Batu yang terletak di dekat kota Palembang, prasasti Talang Tua, juga dekat kota Palembang, dan prasasti Karang Brahi di daerah kota Jambi. Prasasti-prasasti itu pada umumnya berisi doa, kutukan, dan ancaman terhadap orang yang melakukan kejahatan dan tidak taat pada perintah raja. Kelima prasasti Sriwijaya ini berhuruf Pallawa, tetapi tidak lagi berbahasa Sanskerta melainkan berbahasa Melayu Kuno.
Sebagai kerajaan perdagangan, letak Sriwijaya sangat strategis. Kerajaan ini terletak dalam jalur perdagangan antar daerah (Nasional) dan jalur perdagangan antar bangsa (Internasional). Pedagang India dan Cina selalu singgah di Sriwijaya, baik untuk menambah perbekalan, berdagang maupun menunggu angin baik untuk berlayar meneruskan perjalanan. Sriwijaya mendapatkan penghasilan besar dari bea cukai kapal dagang yang singgah. Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya menjamin keamanan para pedagang yang berlayar dari atau ke Sriwijaya. Sriwijaya menguasi perairan Selat Malaka, Selat Karimata dan sekitarnya.
Selain sebagai Negara perdagangan dan maritim, Sriwijaya menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha. Peranan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan ilmiah agama Buddha, kita ketahui dari catatan pendeta agama Buddha dari Cina yang bernama I-tsing. Pada tahun 671 I-tsing mengadakan perjalanan dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa Sanskerta. Bahkan ia menetap empat tahun di Sriwijaya.
Dikerajaan ini. I-tsing menerjemahkan berbagai kitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. I-tsing memberitahukan, orang asing yang ingin memperdalam agama Buddha di India biasanya belajar dahulu selama kira-kira satu tahun di Sriwijaya. Guru agama Buddha Sriwijaya yang terkenal adalah Sakyakirti.
Di Sriwijaya terdapat tempat ziarah penduduk yang beragama Budha. Yaitu di daerah Telaga batu, dekat kota Palembang, Sumatera selatan, terdapat banyak sekali batu bertulisan kata Siddayatra, yang artinya “Ziarah yang berhasil”. Di bukit Siguntang, sebelah barat Pelembang, ditemukan sebuah arca Buddha yang sangat besar dari batu. Arca ini berasal dari sekitar tahun 500 Masehi. Di duga dulu arca ini berada di dalam sebuah candi yang sangat besar, yaitu lebih besar dari pada candi Borobudur di Jawa Tengah.
Sebagai pusat agama Buddha, Kerajaan Sriwijaya juga mendirikan bangunan suci agama Buddha di berbagai tempat di wilayah Sriwijaya, antara lain kelompok candi Muaratakus di dekat Bangkinsang Riau, dan Biaro Bahal di Padangsiderdempuan, Sumatera Utara.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Pada tahun 856 masehi. Balaputra dewa dan dinasti Sailendra, Jawa Tengah, naik tahta kerajaan Sriwijaya. Pada masa itu banyak orang Sriwijaya belajar ilmu pengetahuan di luar negeri, terutama di perguruan tinggi Nalanda di Benggala, India. Atas bantuan Raja Dewapaladewa dari Kerajaan Pala di Benggala. Balaputradewa mendirikan sebuah asrama siswa Sriwijaya di Nalanda. Usaha Balaputradewa ini termaktub dalam prasasti Nalanda bertahun 860 Masehi.
Kerajaan Sriwijaya berlangsung hingga permulaan abad ke-11. Setelah itu Sriwijaya mundur. Kemunduran kerajaan ini disebabkan tidak ada raja yang cakap memerintah dari serbuan raja Rajendra Coladewa dan Kerajaan Colamandala di India Selatan. Kekuasaan Sriwijaya semakin surut ketika Kerajaan Kediri dari Jawa Timur meluaskan kekuasaanya.
Letak Kerajaan Sriwijaya
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Dalam hal kerajaan Sriwijaya ini, jarak waktu yang terlalu jauh menjadikan banyak perdebatan mengenai sejarah kerajaan sriwijaya ini, termasuk diantaranya adalah letak pasti kerajaan yang berkembang di abad ke-7 masehi ini.
Pendapat ini memiliki dukungan bukti tertentu yang membuat semakin sulit mengetahui letak kerajaan Sriwijaya secara pasti. Pendapat yang pertama datang dari Pirre-Yves Manguin yang melakukan penelitian pada tahun 1993, dimana ia berpendapat bahwa kerajaan Sriwijaya terletak di daerah sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokiking yang saat ini masuk dalam wilayah provinsis Sumatera Selatan.
Pendapat lain adalah dari ahli sejarah Soekmono yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di hilir sungai Batanghari, yakni antara Muara Sabak hingga Muara Tembesi yang berada di provinsi Jambi. Ada lagi pendapat lain yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya ada di sekitar candi Muara Takus yang masuk dalam provinsi Riau yang dikemukakan oleh Moens.
Dasar dari pendapat ini adalah petunjuk rute perjalanan I Tsing dan ide mengenai persembahan untuk kaisar China pada tahun 1003, yakni berupa candi. Namun hingga kini belum ada kesepakatan dan bukti yang sangat kuat dimana pusat kerajaan Sriwijaya sebenarnya berada.
Namun, Berdasarkan penemuan-penemuan prasasti disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.
Raja Kerajaan Sriwijaya
Berikut dibawah ini terdapat beberapa raja yang memerintah pada masa kerajaan sriwijaya, antara lain:
- Dapunta Hyang Sri Jayanasa
- Sri Indravarman
- Rudra Vikraman
- Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
- Dharanindra Sanggramadhananjaya
- Samaragrawira
- Samaratungga
- Balaputradewa
- Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
- Hie-tche (Haji)
- Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
- Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
- Sumatrabhumi
- Sangramavijayottungga
- Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
- Rajendra II
- Rajendra III
- Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
- Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Balaputradewa. Ia mengadakan hubungan dengan raja Dewapaladewa dari India. Dalam prasasti Nalanda yang berasal dari sekitar tahun 860 M disebutkan bahwa Balaputradewa mengajukan permintaan kepada raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan biara bagi para mahasiswa dan pendeta Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Balaputradewa adalah putra Samaratungga dari Dinasti Syailendra yang memerintah di Jawa Tengah tahun 812-824 M.
Sriwijaya pernah pula menjadi pusat pendidikan dan pengembangan agama Budha. Seorang biksu Budha dari Cina bernama I-tsing pada tahun 671 berangkat dari Kanton ke India untuk belajar agama Budha. Ia singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa sansekerta. Di Sriwijaya mengajar seorang guru agama Budha terkenal bernama Sakyakirti yang menulis buku berjudul Hastadandasastra.
Para biksu Cina yang hendak belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar di Sriwijaya selama 1-2 tahun. Pada masa berikutnya, yaitu pada tahun 717 dua pendeta Tantris bernama Wajrabodhi dan Amoghawajra datang ke Sriwijaya. Kemudian, antara tahun 1011-1023 M datang pula pendeta dari Tibet bernama Attisa untuk belajar agama Budha kepada mahaguru di Sriwijaya bernama Dharmakirti.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya
Wilayah Sriwijaya ternyata membutuhkan pengawasan yang ekstra karena luasnya kekuasaan kerajaan ini. Untuk menjaga eksistensi kekuasaan, Raja Sriwijaya menerapkan beberapa kebijakan, misalnya saja dalam beberapa prasasti dituliskan tentang kutukan bagi siapa saja yang tidak taat pada raja, seperti dalam Prasasti Telaga Batu Kota Kapur.
Fungsi ancaman (kutukan) ini semata-mata untuk menjaga eksistensi kekuasaan seorang raja terhadap daerah taklukannya. Secara struktural, Raja Sriwijaya memerintah secara langsung terhadap seluruh wilayah kekuasaan (taklukan). Di beberapa daerah taklukan ditempatkan pula wakil raja sebagai penguasa daerah. Wakil raja ini biasanya masih keturunan dari raja yang memimpin.
Maka masuk akal jika dijumpai pula prasasti yang berisi kutukan untuk anggota keluarga kerajaan. Maksud dari kutukan ini adalah untuk menunjukkan sikap keras dari raja yang berkuasa, sekaligus suatu sikap dari raja yang tidak menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar pada penguasa daerah.
Masa Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan.
Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapalkapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian. Faktor- yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar adalah sebagai berikut.
- Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.
- Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India melalui Asia Tenggara.
- Runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.
- Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.
Masa Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sriwijaya
Karena kerajaan sriwijaya dipengaruhi oleh agama budhamaka kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaranya selain itumasyarakat juga menjali hubungan dengan kerajaan lain. Agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya ialah aliran Mahayana dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah Dharmakirti.
Masa Kehidupan Sosial Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya karena letaknya yang strategis dalam lalu lintas perdagangan internasional menyebabkan masyarakatnya lebih terbuka dalam menerima berbagai pengaruh asing. Masyarakat Sriwijaya juga telah mampu mengembangkan bahasa komunikasi dalam dunia perdagangannya.
Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dengan para pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi dan Semenanjung Malaysia. Penduduk Sriwijaya juga bersifat terbuka dalam menerima berbagai kebudayaan yang datang. Salah satunya adalah mengadopsi kebudayaan India, seperti nama-nama India, adat-istiadat, serta tradisi dalam Agama Hindu. Oleh karena itu, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengembangan ajaran Buddha di Asia Tenggara.
Masa Kehidupan Budaya Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi kebudayaan India, pertama ialah kebudayaan agam Hindu, kemudian diikuti kebudayaan agama Buddha. berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya.
Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Menurut berita dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) dalam rangka belajar agama Budha dari seorang guru besar yang bernama Dharmapala.
Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar India. Tetapi walaupun Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat agama Budha, tidak banyak peninggalan purbakala seperti candi-candi atau arca-arca sebaga tanda kebesaran Kerajaan Sriwijaya dalam bidang kebudayaan.
Masa Kehidupan Agama Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat pertemuan antara para jemaah agama Budha dari Cina ke India dan dari India ke Cina. Melalui pertemuan itu, di Kerajaan Sriwijaya berkembang ajaran Budha Mahayana. Bahkan perkembangan ajaran agama Budha di Kerajaan Sriwijaya tidak terlepas dari pujangga yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya diantaranya Dharmapala dan Sakyakirti. Dharmapala adalah seorang guru besar agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Ia pernah mengajar agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala).
Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Kemunduran yang berakhirnya Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
- Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande, India Selatan. Dari dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya dan membuat perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.
- Melemahnya kekuatan militer Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
- Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerha-daerah strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan raja-raja sekitarnya.
- Munculnya kerajaan-kerajaan yang kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya seutuhnya serta Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Berikut dibawah ini terdapat beberapa peninggalan kerajaan sriwijaya, antara lain:
-
Prasasti Kedukan Bukit
Prasati ini ditemukan di Palembang pada tahun 605 SM/683 M. Isi dari prasasti tersebut yakni ekspansi 8 hari yang dilakukan Dapunta Hyang dengan 20.000 tentara yang berhasil menaklukkan beberapa daerah sehingga Sriwijaya menjadi makmur.
-
Prasasti Talang Tuo
Prasasti yang ditemukan pada tahun 606 SM/684 M ini ditemukan di sebelah barat Palembang. Isinya tentang Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang membuat Taman Sriksetra demi kemakmuran semua makhluk.
-
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini bertuliskan tahun 608 SM/686 M yang ditemukan di Bangka. Isiny mengenai permohonan kepada Dewa untuk keselamatan Kerajaan Sriwijaya beserta rakyatnya.
-
Prasasti Karang Birahi
Prasasti yang ditemukan di Jambi ini isinya sama dengan prasasti Kota Kapur tentang permohonan keselamatan. Prasasti Karang Birahi ditemukan pada tahun 608 SM/686 M.
-
Prasasti Talang Batu
Prasasti ini ditemukan di Palembang, namun tidak ada angka tahunnya. Prasasti Talang Batu berisi tentang kutukan terhadap pelaku kejahatan dan pelanggar perintah raja.
-
Prasasti Palas di Pasemah
Prasasti ini juga tidak berangka tahun. Ditemukan di Lampung Selatan yang berisi tentang keberhasilan Sriwijaya menduduki Lampung Selatan.
-
Prasasti Ligor
Ditemukan pada tahun 679 SM/775 M di tanah genting Kra. Menceritakan bahwa Sriwijaya di bawah kekuasaan Darmaseta.
Daftar Pustaka:
-
Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet
-
Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel. ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara.
-
Taylor, Jean Gelman (2003).Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press.
-
Krom, N.J. (1938). “Het Hindoe-tijdperk”. di dalam F.W. Stapel.Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. hlm. vol. I p. 149.
-
Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, “Kerajaan Sriwijaya, Beberapa Situs dan Temuannya”, Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
-
Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius.
-
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka
-
Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
-
Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities”. Quezon City: CARE Minorities. hlm. pages 77.
-
Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
-
Kulke, H. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian.
Berita Artikel Lainnya: